Jumat, 10 Februari 2012

RINDU tak bertuan (voice version)



Langit kembali murung, jubah hitamnya tak kuasa membuat percikan sinar bersembunyi,
Menghilang ke sudut tergelap malam, membuat alam semakin kelam...
Bayu  pun ikut berseru, gemuruhnya tak kuasa membuat dedaunan berguguran,
Berterbangan ke titik tak beraturan, membuat malam semakin suram...

Apa pertandanya???
Semua diam, semua senyap..
Bahkan binatang malam pun tak bersuara malam ini...
Yang terdengar hanya gemuruh ranting pepohonan yang saling berseteru,
diiringi nyanyian langit yang memainkan nada-nada murka...

Ini bukan pertama kalinya. Ini terulang lagi.
Apa yang langit harapkan? Apa yang ditunggunya? Apa penantiannya?
Hingga semua cahaya tak mampu mencegah kuasanya??
Hingga semua suara tak mampu menentang hasratnya??

Kini terjawab sudah. Teka-teki itu menemukan kata kuncinya.
Yaaa,,, ini yang ditunggunya. Ini kerinduannya.
Rindu yang selama ini diharapkan..
Rindu besar yang ditunggu-tunggu...

Mmmhhh...
Aku iri pada langit. Karena kali ini, lagi-lagi dia menemui kerinduannya.
Sedang aku..???
Aku masih seperti hari-hari yang lalu.
Masih disini, menanti kerinduan yang begitu semu.
Terpaku oleh waktu yang semakin menyiksa ku,
Menggerogoti sisa hati yang kusisakan untuk menanti balasan rinduku.

Lantas apa yang bisa kulakukan???
Sekeras apapun aku tunjukkan, sebesar apapun aku berikan,
Tetap saja tak terdengar...
Karna semua jeritan itu, semua teriakan itu, semua tangisan itu,
Hanya menyesak di sudut hati terdalamku yang semakin kehilangan cahaya harapan.
Terus menakutiku dengan bayang pengabaian darimu..

Entahlah,
Tertahan disini atau terungkap sekalipun, akan percuma...
Karena kau tidak pernah mau menjadi dawai untuk nadaku,
Lantas bagaimana aku akan memainkan alunan sajak rinduku??

Mmmhh..
Tak bisakah kau mendengarku??!
Kali iniii saja...

Ini aku!! Aku...!
Hujan yang rela membasahi tandusmu, meski kau tak pernah kenal retakmu!
Angin yang rela membasuh debumu, meski kau tak pernah tau kotormu!
Api yang rela menyinari malammu, meski kau tak pernah sadar gelapmu!
Itu aku!! Aku...!

Lelahku kini semakin menimbun naluriku. Aku hampir tak bisa merasa lagi,
Haruskah aku menjadi langit yang merindu hujan??
Tapi aku tidak ingin menutup bintang demi itu.
Atau aku,, harus menjadi angin yang merindu badai??
Tapi aku tidak ingin mengugurkan daun demi itu??
Lantas aku harus menjadi apa lagi??

Aku lelah!!!

Aku lelah menguntai rindu yang tak bertuan.....



Senin, 23 Januari 2012

Pembohong Sejati

Jika setiap cinta sejati itu akan tetap utuh selamanya,,
Lantas kau sebut apa kata "CINTA" yang selama ini pernah kau akui pada setiap orang yang kau tinggalkan ??!!

Minggu, 22 Januari 2012

UNTITLED

DENGAR...!!! Suara hatiku yang tak terDENGAR...



Jumat, 20 Januari 2012

RINDU tak bertuan

Langit kembali murung, jubah hitamnya tak kuasa membuat percikan sinar bersembunyi,
Menghilang ke sudut tergelap malam, membuat alam semakin kelam...
Bayu  pun ikut berseru, gemuruhnya tak kuasa membuat dedaunan berguguran,
Berterbangan ke titik tak beraturan, membuat malam semakin suram...

Apa pertandanya???
Semua diam, semua senyap..
Bahkan binatang malam pun tak bersuara malam ini...
Yang terdengar hanya gemuruh ranting pepohonan yang saling berseteru,
diiringi nyanyian langit yang memainkan nada-nada murka...

Ini bukan pertama kalinya. Ini terulang lagi.
Apa yang langit harapkan? Apa yang ditunggunya? Apa penantiannya?
Hingga semua cahaya tak mampu mencegah kuasanya??
Hingga semua suara tak mampu menentang hasratnya??

Kini terjawab sudah. Teka-teki itu menemukan kata kuncinya.
Yaaa,,, ini yang ditunggunya. Ini kerinduannya.
Rindu yang selama ini diharapkan..
Rindu besar yang ditunggu-tunggu...

Mmmhhh...
Aku iri pada langit. Karena kali ini, lagi-lagi dia menemui kerinduannya.
Sedang aku..???
Aku masih seperti hari-hari yang lalu.
Masih disini, menanti kerinduan yang begitu semu.
Terpaku oleh waktu yang semakin menyiksa ku,
Menggerogoti sisa hati yang kusisakan untuk menanti balasan rinduku.

Lantas apa yang bisa kulakukan???
Sekeras apapun aku tunjukkan, sebesar apapun aku berikan,
Tetap saja tak terdengar...
Karna semua jeritan itu, semua teriakan itu, semua tangisan itu,
Hanya menyesak di sudut hati terdalamku yang semakin kehilangan cahaya harapan.
Terus menakutiku dengan bayang pengabaian darimu..

Entahlah,
Tertahan disini atau terungkap sekalipun, akan percuma...
Karena kau tidak pernah mau menjadi dawai untuk nadaku,
Lantas bagaimana aku akan memainkan alunan sajak rinduku??

Mmmhh..
Tak bisakah kau mendengarku??!
Kali iniii saja...

Ini aku!! Aku...!
Hujan yang rela membasahi tandusmu, meski kau tak pernah kenal retakmu!
Angin yang rela membasuh debumu, meski kau tak pernah tau kotormu!
Api yang rela menyinari malammu, meski kau tak pernah sadar gelapmu!
Itu aku!! Aku...!

Lelahku kini semakin menimbun naluriku. Aku hampir tak bisa merasa lagi,
Haruskah aku menjadi langit yang merindu hujan??
Tapi aku tidak ingin menutup bintang demi itu.
Atau aku,, harus menjadi angin yang merindu badai??
Tapi aku tidak ingin mengugurkan daun demi itu??
Lantas aku harus menjadi apa lagi??

Aku lelah!!!

Aku lelah menguntai rindu yang tak bertuan.....

Kamis, 19 Januari 2012

NAGA HITAM (part-4)

Gelap ini kembali singgah. Seakan tak ada beda dari sebelumnya. Masih dingin, sepi, hening. Begitulah yang dirasa oleh hati yang terbelenggu, sesak dengan rasa cinta yang tak terungkap. Masih begitu. Tapi setidaknya masih ada harapan. Hanya saja terkadang kesempatan yang tak tergenggam. Ya--- apapun itu, waktulah yang akan memperlihatkan. Kita hanya menunggu hingga pagelaran pentas drama hidup itu ditayangkan dalam gendre nya masing-masing. Di atas hamparan layar hitam sana, terlihat lentera yang menerangi, memercik berkas sinarnya ke penjuru alam. Semakin indah dengan taburan titik-titik cahaya yang tanpa malu berkedip genit pada siapa yang menatapnya.

Seperti biasa, malam ini pun setelah selesai berdoa di Vihara, Daniel kembali berada di pijakan lamanya. Tegak dalam penantian. Menunggu seseorang yang membuatnya selama ini tetap teguh perasaanya. Kali ini Daniel berharap penantiannya terbalas. Semoga saja seseorang yang ditunggunya itu benar-benar hadir nyata di hadapannya kali ini. Menghapus guratan rindu yang selama ini tersesak jauh dalam tahanan belenggu hati.

Dari kejauhan,terlihat seorang wanita berjalan di pinggiran trotoar jalan. Dibias gemerlap cahaya lampu-lampu terang dari dalam pertokoan. Cahaya dari beberapa kendaraan yang berlalu-lalang memancul ke wajahnya yang putih bersih. Terlihat benar-benar seperti bidadari yang sedang turun dari langit untuk menemui cintanya. Begitulah yang terlihat di pandangan Daniel saat melihatnya. Semerbak kelopak bunga serasa bertaburan di hati Daniel. Bagaimana tidak--- kali ini dia menemui penantiannya.

Dari kejauhan Daniel mengikutinya. Ternyata selama ini Daniel tidak menatapnya langsung. Dia hanya bisa memandangi wanita itu dari kejauhan tanpa diketahui si wanita yang dicintainya tersebut. Dengan begitu saja rindunya terbalaskan. Bak malam yang rindu bulan, bak mendung yang merindu hujan. Kali ini benar-benar terjawab. Lantas mengapa Daniel lebih memilih diam—menyimpan rasa yang hanya akan menyesakkan perasaannya. Dia punya cukup alasan untuk melakukan itu. Alasan yang selama ini menjadi tembok penghalang besar untuk Daniel mengakui perasaannya itu kepada seorang wanita cantik berjilbab yang dicintai terebut.

Benar--- Wanita itu adalah Ulfa. Wanita yang selama ini dicintai Daniel diam-diam adalah putri semata wayang keluarga Hasan, Ulfa. Jelas hijab lebar terbentang luas di hadapan Daniel saat perasaannya tertuju pada Ulfa. Bak mengihidupkan api unggun di dasar samudra. Mustahil-- Begitulah gejolak rasa yang ada di hati dan pikiran Daniel. Dia tau persis bagaimana keluarga Ulfa. Anak siapa, berasal dari keluarga yang bagaimana. Dia mengerti. Lantas bagaimana dia akan menjawab perasaannya itu. Dan satu hal yang benar-benar menjadi pembatas kokoh adalah--- Iman. Iman mereka yang beda. Itu lebih menyambuknya. Lagipula Ulfa selama ini tidak pernah sedikit pun menunjukkan tanda bahwa dia juga punya perasaan sama terhadap Daniel. “Aah, selama ini yang dia pikirkan adalah sebatas hubungan antara langgangan dan penjual, tidak lebih”, begitu pikirnya. Dia mengira untuk seorang wanita seperti Ulfa pasti akan memilih pendamping yang jelas tidak sepertinya. Karena itu lah selama ini Daniel hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Menunggu Ulfa setiap kali pulang mengajar dari TPQ kamis malam. Memandang dari balik gerbang Vihara. Memendam rasa cintanya kepada Ulfa. Rasa cinta yang semakin menyesak sanubarinya. Rasa cinta yang tetap akan dipendamnya hingga entah sampai kapan.

***

Hari-hari berlalu. Semua berjalan seperti biasanya. Setiap orang melakukan aktifitasnya yang nyaris seperti biasa. Demikian dengan Daniel. Pagi ini seperti biasa dia mengantar roti-roti pesanan kepada pelanggan, termasuk ke rumah Ulfa. Dan seperti biasanya juga, mereka tidak banyak bicara, tidak banyak saling menatap. Hanya memberikan, menerima, dan selesai.  Lantas kembali disibukkan oleh aktifitasnya masing-masing. Meskipun hati Daniel sangat sesak ingin melampiaskan belenggu perasaannya, tapi dia tetap menahannya. Dia tidak ingin hubungan yang selama ini sudah terjalin menjadi kacau. Setidaknya dengan begini, Daniel masih bisa terus bertemu dengan Ulfa. Begitu saja sudah cukup baginya.

Ulfa masuk ke dalam rumah dengan membawa roti itu sekalian ke ruang makan untuk dinikmati. Mereka memang punya kebiasaan sarapan bersama di rumah sebelum melanjutkan aktifitas masing-masing. Namun ditengah menyantap hidangan sarapan yang tersaji mewah di atas meja besar yang terbuat dari ukiran jati itu, tiba-tiba saja sang Abi menyatakan sesuatu.

“Nak, kau sekarang sudah tumbuh dewasa. Umurmu sudah menginjak lebih kepala dua. Tidak baik bagi wanita menunda terlalu lama nikahnya. Kau sudah waktunya melengkapi setengah ibadahmu. Kami tau, kau ingin melanjutkan dulu karirmu. Tapi kau juga harus memikirkan kami nak. Hidup kami mungkin sudah tidak lama lagi. Kami sudah ingin menggendong cucu dari anak sematawayang kami satu-satunya. Dan Abi rasa kau juga sudah cukup paham bagaimana silsilah keluarga kita ini. Kita berada dalam pandangan terhormat, dari garis turunan bangsawan. Sejak dulu kita sudah menjaga hubungan darah ini. Begitu juga denganmu. Abi rasa kau mengerti apa yang Abi maksud. Karena itu--- Abi dan Ummi sudah membuat keputusan. Dan keputusan ini harus kau turuti sebagai pengabdianmu menjadi anak terhadap orangtuanya. Kami sudah memutuskan—bahwa kau harus menikah dengan Raffi. Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya. Keluarga Raffi akan datang untuk melamarmu minggu depan, tepat di hari ulang tahunmu.”

Mendengar apa yang keluar dari mulut Abi, Ulfa tercengang, bak mendengar petir di siang bolong. Membatu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar darinya. Tanpa disadarinya pun, mata indahnya sudah dipenuhi cairan bening yang terus menumpuk, kemudian tumpah membetuk aliran dipipinya sebelum metetes jatuh ke bumi. Ulfa benar-benar tidak bisa berkata apa lagi. Dia berpikir untuk pasrah kali ini. Benar—ini adalah bentuk pengabdiannya sebagai anak. Dia tidak ingin menjadi anak durhaka karena menentang kehendak orangtuanya. Tapi di sisi lain, bagaimana dengan hatinya. Bagaimana dengan seseorang yang selama ini sudah dicintainya. Dan menunggu untuk tibanya waktu penyatuan hati itu yang entah kapan akan datangnya.

***

Ini hari ketiga setelah percakapkan Ulfa, Abi dan Ummi nya. Artinya, hari lamaran itu tinggal tiga hari lagi. Ulfa masih membisu. Langkahnya kosong, pandangannya hampa. Entah apa yang dipikirnya. Semua mengacak, kacau-balau didalam pikirannya. Semua sudah sangat matang. Segala persiapan untuk hari itu sudah hampir sempurna. Ulfa kembali menghela nafas panjang. Dia rasa dia sudah ikhlas. Tapi tetap saja masih berat diterimanya. Lantas bagaimana lagi. Mungkin ini lah takdirnya. Dalam kesibukan persiapan itu, Ulfa pun harus ikut disibukkan. Hari ini dia diminta Abi ke toko roti untuk memesan roti dalam porsi banyak untuk dijadikan hidangan di acara pertunangannya nanti, sekaligus sebuah kue tar untuk simbol perayaan ulang tahun yang tepat di hari itu juga. Ulfa lantas pergi dengan menyetir Honda City nya sendirian ke toko roti langganannya, toko roti tempat Daniel bekerja. Ulfa bergegas kesana dalam pikiran kacaunya.

Disisi lain, daniel sedang sibuk menghias bagian depan toko roti dengan pernak pernik imlek. Hari tahun baru Cina itu akan dirayakan tiga hari lagi. Ya—hari Imlek kali ini memang kebetulan tepat jatuh bersamaan dengan hari ulang tahun Ulfa. Segalanya sudah apik. Lampion, ornamen dan pernak pernik yang didominasi warna emas dan merah sangat menonjol di sana. Sembari Daniel sedang asik menggantung hiasan-hiasan di depan tokonya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti di depan tokonya. Daniel berhenti dari kesibukannya, lalu memperhatikan mobil itu. Tak lama, keluar seorang wanita dari dalamnya. Benar--- dia adalah Ulfa. Daniel kaget bukan kepalang. Bak mendapat hujan ditengah gurun gersang. Betapa tidak—seseorang yang dia cintai selama ini tiba-tiba hadir di hadapannya pada waktu yang tidak diduga-duganya. Tapi lagi-lagi, Daniel harus menutupi itu semua.

Dengan ekspresi yang biasa, Daniel menyambutnya layak seperti pelanggan biasa yang datang ke tokonya. Meskipun Daniel terus berbisik dalam hatinya,”seandainya dia tau...”. Begitu juga dengan Ulfa, dia terlihat biasa-biasa saja. Dia tidak ingin kekacauan hatinya terlihat oleh orang lain. Apalagi terhadap orang yang masih asing untuknya. Meskipun selama itu Ulfa juga terus bergejolak dalam kekacauan hatinya, memikirkan sosok lelaki yang sedang dicintainya sekarang.

Mereka pun bersikap seperti biasa. Daniel yang belum tau apa yang telah terjadi, lantas bertanya maksud kedatangan Ulfa di sini.

“Silahkan,, ada yang bisa saya bantu..?”, sapa Daniel.

“Oohh, iya.., begini bang, saya mau mesan roti sebanyak 100 porsi dan kue tar untuk diantar 
tanggal 23 besok.,”, jawab Ulfa.

“Waah,, tanggal 23 ya..?? sebenarnya kami tidak buka toko hari itu, karena kami akan sedang ngerayain imlek hari itu.”, jawab Daniel dengan ekspresi sedikit menyesal.

“Hah,, jadi gimana bang? Ga bisa ya..??”,tanya Ulfa dengan nada kecewa.

“Mmhh.. tapi karena keluarga kamu udah jadi langganan kami.., ya udah deh, akan kami usahakan semampu kami.”, tambah Daniel mengiyakan.

“Waaah,, terimakasih ya bang.. kalo gitu,, saya kasih panjarnya dulu 50%.”

Dengan senyuman, lantas Daniel menambahkan,

“Hehehe,, kalau masalah itu gampang.. mmhh, kalo boleh tau.. memang ada acara apa yaa.. kok tumben tumbenan mesan porsi besar gitu..?”

Lantas Ulfa menjelaskan,

“Begini bang,, tanggal 23 itu hati ulang tahunku. Jadi ada semacam acara perkumpulan keluarga gitu di rumah,, sekaligus akan diadain acara lamaran aku.”

Mendengar itu, Daniel bak disengat aliran listrik. Hatinya bergetar mendengar itu. Kali ini Daniel yang mulai diselubungi rasa tak beraturan, kacau-balau, campur aduk dalam pikirannya. Detik seakaan berhenti saat itu. Membatu. Mulutnya langsung membisu tak dapat berkata apapun. Apa yang harus kulakukan. Apa aku katakan saja kalau selama ini aku sangat mencintainya. Tapi apa itu akan menyelesaikan masalah. Dia juga belum tentu mencintaiku. Kalaupun iya, dia juga tidak akan bisa bersamaku. Tapi apa itu mungkin. Bagaimana pun juga, dia tidak akan bisa bersamaku. Apa aku biarkan saja. Tapi bagaimana kalau itu benar-benar terjadi. Lantas bagaimana dengan hatiku. Apa aku harus berharap itu tidak terjadi. Tapi aku sangat egois jika melakukan itu. Jadi aku harus bagaimana. Apa yang harus kukatakan. Apa yang harus kulakukan----?

Perkataan-perkataan itu terus saja berbisik, menyatu kusut dalam pikiran dan hati Daniel. Entah apa yang akan terjadi di hari itu.


Bersambung.....(ke part-5)

Rabu, 18 Januari 2012

NAGA HITAM (part-3)

Sempurna sudah kegelapan meraja. Kali ini benar-benar redup. Perlahan air langit pun meranjak. Kini sang bayu lah yang menguasai sisa malam yang semakin membeku. Jalanan kota yang biasanya masih padat lalu-lalang kendaraan, kali ini sudah mulai lengah. Mungkin mereka lebih memilih  memondok di surganya. Berkumpul bersama keluarga, bercengkrama, mencari kehangataan kasih orang-orang yang dicintai ditengah dinginnya alam.

Namun hal itu tak berlaku di sini. Di kediaman keluarga Hasan. Suasana kaku masih terasa di sini pasca acara pertemuan keluarga terpandang dari turunan darah bangsawan itu. Pak Hasan sendiri belum mengeluarkan satu patah kata pun kepada Ulfa sejak tadi. Bukan marah. Bukan kesal. Bukan sedih. Beliau hanya penasaran. Siapa sebenarnya sosok lelaki yang dicintai putrinya itu. Mengapa dia tidak pernah bercerita apapun selama ini. Bagaimana dia bisa kenal dengannya. Dimana. Kapan. Atau mungkin, ini hanya ALASAN semata. Begitulah--- beribu pertanyaan muncul bertubi di benak sang Abi yang dikenal sangat menjaga wibawanya ini. Pak Hasan hanya tidak ingin menambah suasana semakin tak nyaman saat ini. Beliau sangat mencintai putri semata wayangnya itu. Maka beliau memilih untuk tidak menjawab rasa penasarannya itu di saat sekarang ini. Biarlah Ulfa menenangkan diri dulu, pikirnya. Sama halnya dengan sang Ummi, yang juga memilih diam untuk saat ini.

Ulfa lantas hanya berdiam di kamarnya setelah itu. Dia tau apa yang telah dikatakannya. Dia juga tau apa yang sedang dipikirkan Abi dan Ummi nya saat ini. Namun apa yang bisa dijelaskan sekarang. Semua masih terurai tak beraturan. Tiba mendadak diwaktu yang mendesak. Bahkan tak tau harus mencari titik awal dari mana untuk menerangkan. Mhhuuufft--- menghela nafas panjang. Saat ini Ulfa hanya bisa berdoa semoga semua dalam kendalinya. Biarlah waktu yang menemukan kebenaran itu. Atau mungkin tak akan pernah terungkap sama sekali.

***

Di sudut gerbang itu, seorang pemuda masih kokoh pada pijakannya. Ya--- Daniel belum beranjak juga dari sana. Meskipun dia berpikir penantiannya akan sia-sia kali ini, tapi biarlah. Aku tunggu sebentar lagi, begitu kata hatinya yang terus berkala terulang dari awal tadi. Tapi belum muncul seberkas bayangan pun dari orang yang ditunggunya. Namun dalam tegaknya, tiba-tiba handphone disakunya berdering.

“ Ya om—“, jawab Daniel.

“Dimana kamu sekarang?”, tanya si Paman.

“Aku masih di Vihara om, kenapa?”

“Nngg--- kamu bisa pulang sekarang nggak, kepala om rasanya berat sekali, pening sejak tadi sore keujanan pas ngantar pesanan, sekalian nitip obat sakit kepala ya—“

“oohh,, iya om, aku pulang sekarang..”.

Tepat setelah Daniel menutup pembicaraan itu, langkahnya lantas beranjak menuju apotek terdekat yang buka kemudian bergegas pulang. Ternyata deringan telpon itulah yang merayu Daniel untuk menyudahi penantiannya. Biarlah kali ini. Mungkin memang tak diizinkan keadaan untuk menatapnya saat ini. Sekarang yang ada dipikiran Daniel adalah segera pulang dan membawa obat untuk mengobati sakit kepala pamannya itu. Daniel memang sangat sayang dan perhatian terhadap pamannya. Bagaimana tidak--- Sejak Daniel sebatang kara tanpa orangtua, pamannya lah yang menggantikan posisi itu untuknya. Pamannya nya pun demikian halnya. Sejak awal pernikahan, si Paman tidak dikaruniani seorang buah hati pun. Karena itu Beliau menyangi Daniel seperti anaknya sendiri.

Malam ini pun berlalu. Tenggelam dalam dermaga hening yang sepi. Diiringi sautan katak yang mulai terdengar di atas daratan yang basah ini. Bercak-bercak tinta berkilau pun mulai bermunculan. Memercik tak beraturan di atas kanvas hitam yang sangat lebar. Semakin banyak. Semakin gemilang. Berkedip manja dalam beragam formasi yang sangat indah. Menyebar seantero jagad bak pentas opera alam yang gemerlap. Maha Suci Sang Pencipta.

***

Mentari kembali meyambut persinggahan ini. Meski belum sempurna mengepak sayapnya, namun bentangan sinarnya sudah teraba oleh cakrawala. Kicauan burung terdengar merdu sembari melayang beraturan dalam kelompoknya, diiringi sautan ayam yang masih berkokok sesekali. Entah dari mana datangnya suara-suara itu. Tapi yang jelas sangat berpadu indah membentuk harmoni alam yang begitu syahdu. Ini dia. Waktu memulai beragam agenda. Pagi yang begitu hangat.

Ini adalah hari yang sama tepat seminggu lalu pasca perjodohan Ulfa dengan Raffi. Kini situasi mulai hangat kembali sehangat udara pagi ini. Seperti biasa, Daniel sudah siap dengan motor dan keranjang dibelakangnya yang berisi penuh roti-roti dari toko pamannya. Ini adalah agenda wajib Daniel di pagi hari. Dia harus berkeliling ke beberapa tempat untuk mengantar roti-roti yang di pesan-antar oleh pelanggan langganan toko pamannya.

Menelusuri likuan jalan, kini Daniel sampai ke sebuah rumah. Ini adalah salahsatu langgangan setia toko roti pamannya. Penghuni rumah ini sudah menjadi langganan roti sejak hampir 2 tahun lalu. Biasa roti diantar ke sini per 2 hari sekali. Dan ini adalah waktunya. Sampai di depan gerbang pagar yang berukir ‘pinto aceh’ itu, Daniel berhenti. Turun dari motornya lalu  menyapa si penghuni rumah. Dan seperti biasa, seorang gadis cantik berkerudung memenuhi panggilannya untuk mengambil roti pesanan itu. Benar--- Gadis itu adalah Ulfa. Keluarga merekalah si langganan setia itu. 

Seperti biasa, setelah menerima roti, Ulfa pun bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Dan Daniel pun bergegas kembali mengantar sisa pesanan rotinya. Tanpa basa basi, tanpa percakapan panjang, bahkan bertatapan pas pun jarang. Yaa, memang begitu. Toh, hubungan mereka selama ini memang sebatas seperti antara penjual dan konsumen saja. Tak lebih.

Waktu pun berlalu capet. Matahari sudah melebihkan bayangan dari wujud nyatanya. Terlihat para jama’ah shalat Ashar baru saja berbondong-bondong keluar dari Mesjid. Sementara itu, Daniel masih saja sibuk di toko roti. Sore ini nampaknya toko roti sedang dipenuhi pelanggan.  Meskipun lelah, Daniel tetap menunjukkan senyum ramahnya ke setiap pelanggan yang datang. Dia harus menyesaikan tugasnya dengan cakap. Sebab seperti biasa, sore hari ini dia akan berkunjung ke Vihara untuk berdoa. Dan kali ini dia berharap dapat menjumpai wanita yang ditunggunya. Semoga---

Di sisi lain, Ulfa sudah bersiap untuk berangkat ke TPQ (Tempat Pendidikan Qur’an) Al-Aziziyah untuk mengajar. Ulfa memang sudah mulai mengajar Lughatul ‘Arabiyah (bahasa Arab) di TPQ itu sejak menginjak semester 5 kuliahnya. Ya—hitung-hitung memberkahi ilmu sekalian praktik. Setelah menunaikan shalat Ashar nya di rumah, Ulfa lantas bergegas ke sana. Dia harus bergerak lebih awal, sebab Ulfa berjalan kaki ke sana. Bukan karena dia tak punya kendaraan. Pasalnya, Ulfa memang senang berjalan kaki, karena dia senang menikmati langsung suasana diluar dengan bebas. Lagipula tempatnya tidak terlalu jauh. Kurang lebih 20 sampai 30 menit berjalan kaki. Kecuali jika mendesak atau melakukan perjalanan yang agak jauh, barulah Ulfa menyetir Honda City miliknya.

Sebenarnya—ada alasan lain yang lebih merayu Ulfa untuk berjalan kaki ke sana. Ada sesuatu yang ingin ditemui Ulfa dengan itu. Sesuatu yang ingin dilihatnya. Mmhh,Tidak---lebih tepatnya, seseorang. Yaa—seseorang yang diharap dapat dijumpainya lagi ditempat yang sama saat pertama kali dia melihatnya. Seseorang yang sangat ramah, peduli sesama, perhatian, rendah hati dan suka menolong. Meskipun Ulfa belum pernah melihatnya sebelumnya, tapi hatinya sangat  tersentuh dengan sikapnya sejak perhatian pertamanya.

Begini--- pernah suatu kesempatan saat Ulfa masih di awal mula mengajar di TPQ Al-Aziziyah, mobilnya sedang di service di bengkel. Ya, sebenarnya Ulfa biasa menggunakan mobilnya ke sana. Tapi karena saat itu tidak memungkinkan, maka Ulfa memutuskan untuk jalan kaki. Di tengah perjalanannya, di kejauhan Ulfa melihat seorang kakek tua pengemis sedang berjalan lemah dengan tongkatnya yang juga terlihat rapuh. Ulfa memang sangat tidak tega melihat pemandangan seperti ini. Maka dia percepat langkahnya menuju si pengemis itu untuk memberikan belas kasihan padanya. Tapi tiba-tiba langkahnya tertahan. Niatnya didahului seorang pemuda dengan penampilan sederhananya. Namun ternyata hati pemuda itu tak sesederhana penampilan luarnya. Tersimpan sesuatu yang luar biasa di dalamnya. Pemuda itu membawa sekarung beras di boncengan motornya. Dia turun. Lalu membuka jahitan karung beras itu dan meminta si pengemis membuka karung miliknya. Tanpa ragu, pemuda itu membagi setengah isi karung itu dengan si pengemis. Kemudian dia langsung masuk ke tempatnya, yang ternyata si pengemis tadi sedang berjalan tepat sempurna di depan tempat tujuan si pemuda itu.

Tanpa disadari pemuda itu, Ulfa memperhatikan pemandangan menakjubkan itu dengan terkagum bisu. Ini pertama kalinya Ulfa melihat hal seperti ini di era modern ini. Era dimana sebagian besar orang berdiri sendiri, sulit perduli terhadap sesama, bersikap bodo amat terhadap lingkungan. Tapi Ulfa melihat sendiri hari ini, ternyata sebagian kecil pengecualian itu ada di pandangannya sekarang. Ya--- sejak saat itulah Ulfa kagum pada sosok si pemuda itu. Entah apa namanya, entah apa rasanya, entah dari mana datangnya, Ulfa yang tidak pernah seperti ini sebelumnya, ternyata dia telah jatuh CINTA pada pemuda itu sejak pandangan pertamanya. Mulai hari itulah Ulfa jarang sekali mengendarai mobilnya ke TPQ. Ulfa lebih memilih jalan kaki, karena dengan begitu dia bisa melihat si pemuda itu ditempat yang sama setiap kali dia berjalan menuju TPQ. Meski tanpa disadari pemuda itu. Benar—pemuda itulah yang dimaksud dalam jawaban panjang pertanyaan Abinya saat acara perjodohan itu.

Lantas mengapa Ulfa memilih memendam rasa itu--? Siapa sebenarnya sosok pemuda yang dicintainya itu--???


Bersambung.....(ke part-4) 

Selasa, 17 Januari 2012

NAGA HITAM (part-2)

Daniel masih saja betah di Vihara. Tapi sekarang dia sedang tidak berada di dalam. Daniel sedang duduk di tepian tangga gerbang masuk Vihara. Entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. Dia hanya duduk diam memandangi langit sore yang masih saja kelam. Ini sudah hampir waktu maghrib, dan hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Jalanan di seputaran kota pun sudah mulai agak lengah. Sebagian toko malah sudah ada yang mulai tutup sementara hingga waktu maghrib selesai. Lampu-lampu jalanan sudah mulai menyala. Membiaskan cahaya kekuningan ke rintikan air hujan yang turun, bak tetesan air emas yang sedang tumpah dari angkasa.

Sementara itu, di rumah keluarga Hasan masih saja diselimuti suasana sakral. Prosesi perjodohan yang sedang berlangsung masih menuai kegundahan besar di hati Ulfa. Setelah sang Abi menodongnya dengan pertanyaan yang cukup membuatnya seolah sedang duduk di meja hijau sebagai tersangka yang sedang diintrogasi, Ulfa mulai berfikir. Tangannya semakin menggenggam erat. Hatinya tak henti memohon petunjuk kepada Sang Pemilik hati.

“Kali ini alasan apalagi yang harus aku berikan. Ya Allah,, hamba mohon petunjuk-Mu...”, guman Ulfa dalam hati.

Setelah mengucap basmalah, lantas penantian seluruh orang diruangan itu tersampaikan. Ulfa akhirnya angkat bicara. Menjawab pertanyaan Abi nya.

“Saya berterima kasih banyak kepada keluarga bapak Husein yang sudah berkenan memenuhi pertemuan keluarga ini. Terima kasih juga karna sudah  berkenan memilih saya untuk diperkenalkan dengan putra Bapak dan Ibu”

Ulfa lalu memalingkan pandangannya kepada Raffi.

“Cutbang Raffi---, sapa Ulfa
(Cutbang adalah panggilan halus dari Aceh yang ditujukan kepada seorang pria yang lebih tua atau yang dihormati)

"Cutbang adalah lelaki yang baik dan sopan. Saya bisa rasakan itu dari cara cutbang berbicara dan bersikap. Cutbang juga lelaki yang pintar dan tampan. Berasal dari keluarga terhomat dan hidup mapan. Saya rasa tidak ada wanita manapun yang akan menolak memilih cutbang untuk menjadi imamnya. Dan sekali lagi, saya merasa sangat istimewa menjadi wanita yang bersedia cutbang pilih. Seandainya kita memang dijodohkan oleh Allah dari pertemuan yang mulia ini, maka saya akan berusaha taat pada cutbang, agar bisa menjadi bidadari yang kelak bisa menemani cutbang di akhirat....”

Perkataan Ulfa terputus. Suasana masih hening. Semua mata masih tertuju pada Ulfa untuk menunggu jawaban inti yang akan dikatakannya. Ulfa kembali menunduk sejenak lalu menghela nafas. Kemudian  Ulfa mengangkat kepalanya dan memandangi bergantian orang-orang diruangan itu sembari berkata,

“Abi, Ummi, Pak Husein, Bu Husein, Cutbang Raffi, dan semua yang hadir di sini.... Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya tidak bisa menerima cutbang Raffi menjadi imam saya. Karena saya sudah MENCINTAI seseorang...!”, saut Ulfa dengan tatapan pasti dan suara yang meyakinkan.

Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Ulfa, sentak seluruh ruangan menjadi semakin tegang. Semua mata jadi saling memandang penuh tanda tanya. Namun suasana di ruang itu masih saja hening. Belum ada satu suara pun yang terlontar dari mulut siapa pun. Abi dan Ummi Ulfa sendiri masih diam dan tak menyangka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh putri semata wajangnya itu. Mereka masih tak habis pikir dengan alasan dan pernyataan yang dibuat Ulfa. Siapa yang dicintainya itu--?? Hingga mampu dengan gampang menolak seorang lelaki yang nyaris benar-benar sempurna untuk dijadikan suami seperti Raffi--?

Masih tak ada suara diruangan itu. Yang terdengar hanya sayup-sayup detik air di luar sana. Sepi---, sunyi---. Seakaan semua mulut terkunci saat itu, ada ada kata yang bisa dikeluarkan. H-e-n-i-n-g---. Suara azan maghrib lah yang kemudian memecah seheningan itu. Menggema di seluruh penjuru daratan yang basah ini. Dentingan air hujan pun terdengar bak pengiring yang membuat alunan sautan itu semakin megah. Tanda panggilan munuju Sang Pemilik Semesta.

***

Sang malam pun akhirnya menjemput surya kembali ke peraduannya. Sirna sudah. Langit dibungkus kegelapan. Sejauh mata memandang tak ditemukan setitik cahaya pun. Yang ada hanya cahaya menyambar dari balik kabut pekat yang muncul sesekali diiringi sautan gemuruh yang memecah malam. Hujan memang sudah tak sederas tadi sore. Hanya tinggal rintik-rintik saja. Tapi cukup membuat suasana malam jum’at ini terasa begitu dingin. Ditambah dengan desis angin yang berhembus, membuat malam benar-benar menjadi semakin beku.

Dingin dan bekunya malam ini sama seperti hati dan pikiran Daniel saat ini. Dia sedang berdiri tepat di ujung tembok gerbang masuk utama Vihara. Tak beranjak di tengah rintik hujan. Hanya berlindungkan jaket ditubuhnya yang sudah mulai lembam. Cahaya lampu jalanan dan kendaraan yang melintas membiaskan pantulan ke wajah putihnya yang tampak semakin pucat bak mayat.

Daniel sudah hampir sejam berdiri disini. Ya--- karena ini adalah malam jum’at. Memang ada apa di malam ini? Bukan tanpa alasan dia mau tertahan ditengah dingin malam dan rintik hujan seperti ini. Tubuhnya semakin menggigil. Tapi tetap saja Daniel tidak bergeser semeter pun dari pijakannya. Bersiteguh  dengan keinginannya. Sesekali dia lirik jam tangannya. Pandangannya tampak tak beraturan ke segala penjuru. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya dia berdiri di sini. Daniel melakukan ini setiap kali dia pulang dari Vihara di Kamis malam.

Tepat--- Yang dilakukan Daniel adalah menunggu. Dia sedang menunggu seseorang. Seseorang yang telah membuatnya terus memuja Sang Pencipta. Seseorang membuatnya tetap ingin bernafas sampai saat ini. Seseorang yang membuatnya bahagia saat bisa melihatnya. Seseorang yang membuatnya rindu saat tak bisa ditemuinya. Seseorang yang membuatnya khawatir saat tak terdengar kabarnya. Benar--- Dia adalah wanita yang telah membuat Daniel merasakan CINTA. Lantas siapa sebenarnya wanita yang sedang dinantinya itu--?


Bersambung.....(ke part-3)

Senin, 16 Januari 2012

NAGA HITAM (part-1)

Awan hitam kembali menyelimuti bumi serambi mekkah. Angin mulai bertiup menyapu debu jalanan di sepanjang jalan pertokoan. Terlihat beberapa mengendara motor menutup hidung dan mulut mereka sembari melewati pusaran debu yang mengepung. Jalanan pun sudah dihiasi dedaunan kering yang berguguran dari pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di sepanjang tengah pemisah jalan, yang seolah tak gentar di hempas angin.  Sesekali terdengar gemuruh dari langit yang menambah suasana suram kamis sore itu. Ini adalah kali pertama tanah kuta raja dibayangi kiraan akan hujan sejak hampir tepat sebulan.

Yaa--- meskipun ini bulan Desember yang harusnya musim hujan, tapi sudah hampir genap 3 minggu lalu sejak terakhir kalinya tanah ini dibasahi air langit. Mungkin karena letak topografis Aceh ini yang hampir sebagian besar daratannya berbatasan langsung dengan pantai. Banda Aceh ini bahkan langsung berbatasan dengan samudra Hindia. Karna itu  tanah yang sangat berjaya di masa kerajaan Samudra Pasai ini memang terasa sangat amat panas, terutama disiang hari. Tapi tak jarang juga akan berubah sangat mencekam saat hujan datang yang menjelma bak badai besar yang mengerikan.

Seperti sore ini. Langit yang mengaung, angin yang berdesis, daun yang berterbangan, seolah tak jadi pandangan bagi orang-orang yang berlalu-lalang di sepanjang pertokoan di bilangan Peunayong. Kawasan yang dipenuhi oleh kebayakan etnis Tionghoa ini memang sudah menjadi salahsatu pusat bisnis di Banda Aceh sejak dulu. Sebagian besar etnis Tionghoa yang minoritas di sini hidup dengan rukun dengan masyarakat sekitar. Hampir seluruh mereka merupakan pembisnis di sini. Maka tak jarang jika kita berkunjung ke kawasan ini, nyaris semua toko dimiliki oleh etnis Tionghoa. Bisa dibilang, Peunayong ini adalah ‘Chinese Town’ nya Banda Aceh. 

Tak lama kemudian, setitik tetesan bening jatuh sempurna di pipi seorang pemuda yang sedang berjalan di sepanjang tepian jalan. Pemuda berkulit putih, bermata sipit, rambut hitam dan mempunyai penampilan yang cukup tampan. Dia sedang dalam langkahnya menuju sebuah tempat. 

Tetesan itu semakin lama semakin banyak. Membahasi jalanan yang berdebu. Menggoyangkan daun-daun dan tanaman jalanan. Benar--- akhirnya hujan turun juga dari tempat teduhannya. Pengendara motor mulai kalang-kabut mencari tempat berteduh di emperan-emperan toko. Sehingga jalanan didominasi oleh pengguna roda empat. Hanya terlihat beberapa pengendara motor saja yang nekat menembus derasnya hujan sore itu. 

Sama halnya dengan pemuda tadi. Dia mempercepat gerak langkahnya dan mulai berlari menuju tempat tujuannya yang memang sudah tidak jauh lagi, terlihat sudah sepandangan mata. Dalam keadaan sedikit basah, akhirnya dia sampai di Vihara ‘Dharma Bhakti’. Ya--- Pemuda 24 tahun yang akrab dipanggil Daniel ini memang seorang KongHuChu keturunan etnis Tionghoa yang tinggal di Banda Aceh. 

Daniel yang sudah tidak punya orang tua lagi pasca musibah besar yang mehantam negeri ini 7 tahun silam—Tsunami, kini tinggal bersama pamannya sekaligus bekerja di toko roti milik pamannya. Daniel adalah tipe pekerja keras. Dia sangat ulet dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Meskipun dia keponakan si pemilik toko, tapi Daniel tidak mau dibedakan dengan pekerja lainnya. Selian itu, Daniel juga sangat taat beribadah. Dia percaya bahwa setiap kehidupan ini punya ‘Pemilik’. Dialah yang disembahnya. Karna itu, bagaimana pun sibuknya dia, Daniel tetap menyempatkan diri untuk sembahyang dan berdoa kepada Tuhan, sebagai wujud syukurnya atau memohon sesuatu yang diinginkannya.

Berada di daratan dengan mayoritas Muslim, memang tidak ada banyak klenteng atau vihara yang berdiri di sini. Vihara terbesar yang bisa dibilang satu-satunya di Banda Aceh ini, yaa tempat yang dikunjungi Daniel sekarang ini. Terletak di bilangan Peunayong. Tempat yang sangat strategis untuk itu.  Daniel biasa datang kesana setiap kamis sore hingga malam jum’at. Berada sebagai minoritas tidak jadi masalah buat Daniel. Karena dia merasa penduduk di sini sangat toleransi terhadap orang asing manapun. Bukankah dalam Islam diajarkan untuk saling menghormati terhadap sesama ummat beragama? Maka tak ada beda dengan etnik Tionghoa di bumi Serammbi Mekkah ini. Mereka yang sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sangat bercampur dengan masyarakat dengan rukun.

***

Hujan masih saja enggan bersudahan. Belum ada tanda-tanda langit akan kembali memamerkan pertunjukan formasi bintang nanti malam. Masih gelap. Masih bergemuruh. Hari sore itu seakan sedang sangat berkabung. Meluapkan semua ganjalan  kegelisahannya. Bersedih akan sesuatu.

Sama seperti apa yang sedang terjadi di sebuah rumah mewah di kawasan Keudah, kawasan yang berjiran dengan Peunayong dengan sebuah sungai—‘Krueng Aceh’ yang memisahkan keduanya. Halaman rumah mewah kepunyaan Teuku H. Hasanuddin ini sedang di penuhi dua sedan mewah milik tamu-tamu istimewanya. Hujan deras sore ini  seolah tak jadi penghalang untuk pertemuan dua keluarga terpandang yang mempunyai silsilah garis keturunan bangsawan ini.

Di sebuah ruang tamu yang luas, sofa mewah dan segala perangkat perabotan yang mahal dan indah itu, sedang dipenuhi orang-orang dengan pakaian mewah dan perhiasan mahal yang seolah menunjukkan jelas dari kalangan mana mereka berasal. Mereka sedang terlibat pembicaran yang cukup serius tapi tetap di selimuti dengan suasana hangat dan akrab.

Lihatlah di ujung sofa sana! Disana sedang duduk seorang gadis cantik yang sangat menawan didampingi sang Ibunda tepat di sebelahnya. Wajah putih beningnya semakin terlihat bercahaya dibias cahaya lampu yang memantulkan sinar lewat kristal-kristal indah yang bergantung megah di tengah ruangan itu. Seorang gadis yang berjilbab, cantik, taat agama, sopan, pintar, berasal dari garis turunan bangsawan, dan hidup mapan. S-e-m-p-u-r-n-a--- Benar-benar sosok seorang wanita yang di idam-idamkan lelaki untuk menjadi bidadarinya di surga kelak. Tapi, ada sesuatu dibalik wajah cantiknya yang terus menunduk menjaga pandangannya sejak dari awal tadi. Ya--- gadis 22 tahun anak semata wajang keluarga Hasanuddin ini bernama Cut Meurisa Nuri Ulfa, dan akrab dipanggil Ulfa.

Ulfa belum mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir merah indahnya. Dia seperti membatu ditempatnya. Kedua tangannya saling menggenggam di atas tumpuan pahanya. Mata coklat indahnya pun tampak berkaca-kaca dipenuhi cairan bening yang masih enggan tumpah. Benar--- Ulfa sedang menahan kesedihannya. Bagaimana tidak--? Orang tuanya terus saja mendatangkan lelaki-lelaki dari kalangan sederajat keluarganya untuk dijodohkan dengannya. Ulfa sangat tidak nyaman dengan ini. Dia ingin memilih calon suaminya sendiri yang benar-benar dicintainya. Tidak dengan cara ini. Dan satu hal lagi yang paling menyesak dipikirannya, bahwa orang tuanya tidak akan pernah merestui anaknya diperistri oleh seorang yang bukan berasal dari garis turunan bangsawan. Karena dia adalah seorang wanita, dan akan hilang silsilah darah bangsawannya jika menikah dengan lelaki biasa—begitu kata sang Abi(panggilan Ulfa untuk ayahnya).

Lantas apa yang bisa diperbuat Ulfa. Sebagai seorang anak, dia harus berbakti kepada orang tua. Salah satunya adalah dengan menuruti perintah orang tuanya selama itu tidak bertentangan dengan syari’at. Tapi di sisi lain, Ulfa juga tidak ingin menyiksa batinnya sendiri kalau harus menghabiskan sisa hidup dan ibadahnya dengan seorang suami yang tidak dicintainya. Selama ini yang bisa membuat Ulfa terus nenutupi kesedihan dan bebannya tersebut adalah dengan menolak setiap lamaran atau perjodohan yang dilakukan keluarganya, dengan alasan bahwa Ulfa ingin menyelesaikan kuliahnya dulu di Fakultas Tarbiyah Bahasa Arab, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Ini adalah kali ke-7 nya keluarga Ulfa mengadakan pertemuan keluarga untuk membicarakan perjodohan dengan keluarga besar Teuku H. M. Husein. Lelaki tampan itu bernama Teuku Raffi. Seorang alumni Universitas Gajah Mada fak. Kedokteran Gigi yang sekarang sudah menjadi dokter gigi. Raffi kini tinggal di Medan dan bekerja di salah satu rumah sakit terkemuka di sana. Dia mengatakan bersedia pindah tugas ke Banda Aceh jika Ulfa tidak ingin jauh dari tanah kelahirannya ketika menjadi istrinya nanti.

Kali ini Ulfa benar-benar linglung. Sangat kebingungan. Berbeda seperti  biasanya yang dengan sangat mudah menolak dengan alasan tadi. Pasalnya, Ulfa kini sudah lulus dari kuliahnya. Dan memang sudah lama sekali tidak ada prosesi jodoh-jodohan ini sejak Ulfa meminta ke Abi agar tidak melakukan ini selama dia belum lulus kuliah. Maka sekarang tidak ada alasan lagi untuk Ulfa menolak perjodohan ini. Karna itu Ulfa sangat bingung kali ini. Hujan yang masih deras turun diluar sana seolah menggambarkan kegaduhan hati yang sedang dirasakan Ulfa sekarang.

Keadaan kemudian terasa sangat menegangkan. Ini intinya---. Dengan segala pertimbangan dan sesi tanya-jawab bak acara talk show itu, seketika sang Abi bertanya kepada putri semata wayangnya itu.

“Bagaimana nak,, apa kau menerima nak Raffi untuk menjadi imam mu??”

Mendengar pertanyaan itu, seketika Ulfa tertegun, matanya melebar, tangannya bergetar, sembari ikuti suara petir yang menggelegar dari langit. Seolah dengan tepat menjelaskan perasaan Ulfa saat itu.

Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya suara desir hujan samar-samar diluar sana. Semua mata di ruangan itu tertuju pada seorang gadis di ujung sofa sana. Mereka sedang menunggu jawaban apa yang akan diberikannya.


Bersambung.....(ke part-2)

Minggu, 15 Januari 2012

setengah HATI

Pernah kau menghitung berapa banyak butir pasir di bukit tursina???
Sebanyak itulah rasa rinduku padamu,
Rasa rindu yang selama ini kusimpan dihatiku...

Pernah kau mendengar kicauan camar di hutan cemara???
Semerdu itulah suara hatiku,
Suara hati yang selama ini memanggil namamu...


Pernah kau menyentuh kain sutra yang indah???
Selembut itulah perasaanku padamu,
Perasaan yang selama ini kurajut dengan hatiku untukmu...

Pernah kau melihat banyaknya bintang di langit malam yang cerah???
Sebanyak itulah aku menCINTAimu,
Rasa cinta yang selama ini ku untai perlahan dengan tulus untukmu...

DAN....

Pernah kau menghitung berapa banyak pohon anggur di gurun sahara???
Sebanyak itulah kau hadir di hadapanku,
Kehadiran yang selama ini  kuharap dapat mengganti rinduku...

Pernah kau mendengar gemuruh petir di langit badai???
Semerdu itulah balasan suara hatimu,
Suara hati yang selama ini kuharap mampu menyaut panggilan hatiku...

Pernah kau menyentuh tumpukan kerikil di bukit tandus???
Selembut itulah perasaanmu padaku,
Perasaan yang selama ini kuharap sanggup membalas perasaanku...

Pernah kau melihat banyaknya bintang di langit siang yang cerah???
Sebanyak itulah kau menCINTAiku,
Rasa cinta yang sampai saat ini tidak pernah kutemui darimu...
.........

Sabtu, 14 Januari 2012

sang PUTIH yang hilang

HARUSnya ini akan baik-baik saja...
apa ini....???
Hitam.., Merah.., Biru.., Putih ???

merah itu terlalu menyeramkan..!!!
berjalan ke biru...

biru itu terlalu menghayalkan..!!!
berlari kemana..???

lantas semua Ungu itu berubah Hitam...????!!!
kemana menatap..???

mencari sang Putih yang masih ada..
mengintip di celah hidup yang gersang...

Tak harus lelah untuk berlari..!!
Tak boleh bosan untuk berjalan..!!
Tak dapat letih untuk mengejar..!!

menanti gersang menjadi Hijau....

Dekat....
sangat dekat..!!!
selalu ada cerah untuknya...
hingga Putih itu bersama...

Jumat, 13 Januari 2012

DOSA terindah

HATI... apa itu???
Benda yang mampu membenci..?
Benda yang sanggup menyayangi..?
Benda yang dapat mencintai..?
Atau hanya sekumpulan darah kotor dari tumpukan perasaan busuk??
Apapun itu,, segumpalan yang tidak aku pahami,, kini..

Atau RASA... apa itu???
Aku tak tau rasanya rasa..
Aku rasa aku tak bisa merasa..
Aku merasa aku tak punya perasaan,, kini..

hhhuufftt...Entahlah..
Aku tak peduli lagi,,
Langkahku kini hanya berjejak menuju kenikmatan,
Kenikmatan semu yang aku dapat dari hati yang kau hilangkan..
Nafasku kini hanya berhela menuju kesenangan,
Kesenangan palsu yang aku dapat dari rasa yang kau musnahkan..

Kau kira ini mauku???
Hidup dengan bayangan kotor dari cahaya kelam yang kau ciptakan?
Kau kira ini inginku???
Berjalan dengan jejak ganda dari arahan ambigu yang kau sesatkan?

Lantas sekarang kau kira bisa kembali ke pijakan awal,
Setelah kau tarik aku ke jurang dalam tak berdasar?
Lantas kau kira kau bisa kembali ke tepian awal,
Setelah kau seret aku ke arus deras tak berjarak?
hhH,,Pikir lagi!!!

Percuma...
Toh ,,Hatiku kini sudah tak berperasaan lagi.
Rasaku kini sudah tak berhati lagi..
Aku tak tau lagi apa itu nurani,
Aku tak tau lagi apa itu naluri,
Yang aku tau kini hanyalah bagaimana cara berkicau merdu,
agar aku bisa tetap terbang dalam sangkar emas darimu..
Yang aku tau kini hanyalah bagaimana cara bermekar indah,
agar aku bisa tetap tumbuh dalam taman mewah darimu..
Yang aku tau kini hanyalah bagaimana cara berenang lincah,
agar aku bisa tetap hidup dalam kolam indah darimu..

Raih apa yang kau mau dariku,
Sentuh apa yang kau ingin dari tubuhku,
Rambut? Mata? Telinga? Bibir?
Apapun, dimanapun, kapanpun hasratmu memuncak akan bersamaku..
Lewati dingin malam ini dengan gairahmu dalam pelukanku..
Habiskan detik panjang malam ini dalam ciuman liarmu di bibirku..
Jamah sesuka inginmu..
Telusuri setiap jengkal tubuhku..
Helus setiap sentuhan kulitku..
Nikmati setiap desah suaraku..
Iringi menuju puncak kenikmatanmu..

Dan saat aku dapatkan apa yang kumau,,
Aku akan buka simpul tumpuanmu..!
Biarkan kau terhempas kejurang dalam yang kau buat sendiri.
Terbawa arus deras yang kau ciptakan sendiri.
Lalu aku akan tertawa girang, tersenyum puas ,,
Menyaksikan setiap keterpurukan yang kau rasakan.
Mendengar setiap rintihan yang kau teriakkan.

Siapa peduli?? Salah siapa??
Kau kira bagaimana selama ini aku bertahan??
Kau lah yang membuatku menjadi seperti sekarang ini..
Waktu ku hanya dihabiskan untuk menghafal pasal kesakitan,
Mengulang rumus kesedihan..
Kulakukan berulang-ulang hingga kata kesakitan itu tak punya arti,
Kulakukan terus-menerus hingga kata kesedihan itu tak punya makna,

Jadi, jangan pernah kau bermimpi mendapatkan hatiku,
Karna aku sudah tidak punya itu,, kini.........