Senin, 16 Januari 2012

NAGA HITAM (part-1)

Awan hitam kembali menyelimuti bumi serambi mekkah. Angin mulai bertiup menyapu debu jalanan di sepanjang jalan pertokoan. Terlihat beberapa mengendara motor menutup hidung dan mulut mereka sembari melewati pusaran debu yang mengepung. Jalanan pun sudah dihiasi dedaunan kering yang berguguran dari pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di sepanjang tengah pemisah jalan, yang seolah tak gentar di hempas angin.  Sesekali terdengar gemuruh dari langit yang menambah suasana suram kamis sore itu. Ini adalah kali pertama tanah kuta raja dibayangi kiraan akan hujan sejak hampir tepat sebulan.

Yaa--- meskipun ini bulan Desember yang harusnya musim hujan, tapi sudah hampir genap 3 minggu lalu sejak terakhir kalinya tanah ini dibasahi air langit. Mungkin karena letak topografis Aceh ini yang hampir sebagian besar daratannya berbatasan langsung dengan pantai. Banda Aceh ini bahkan langsung berbatasan dengan samudra Hindia. Karna itu  tanah yang sangat berjaya di masa kerajaan Samudra Pasai ini memang terasa sangat amat panas, terutama disiang hari. Tapi tak jarang juga akan berubah sangat mencekam saat hujan datang yang menjelma bak badai besar yang mengerikan.

Seperti sore ini. Langit yang mengaung, angin yang berdesis, daun yang berterbangan, seolah tak jadi pandangan bagi orang-orang yang berlalu-lalang di sepanjang pertokoan di bilangan Peunayong. Kawasan yang dipenuhi oleh kebayakan etnis Tionghoa ini memang sudah menjadi salahsatu pusat bisnis di Banda Aceh sejak dulu. Sebagian besar etnis Tionghoa yang minoritas di sini hidup dengan rukun dengan masyarakat sekitar. Hampir seluruh mereka merupakan pembisnis di sini. Maka tak jarang jika kita berkunjung ke kawasan ini, nyaris semua toko dimiliki oleh etnis Tionghoa. Bisa dibilang, Peunayong ini adalah ‘Chinese Town’ nya Banda Aceh. 

Tak lama kemudian, setitik tetesan bening jatuh sempurna di pipi seorang pemuda yang sedang berjalan di sepanjang tepian jalan. Pemuda berkulit putih, bermata sipit, rambut hitam dan mempunyai penampilan yang cukup tampan. Dia sedang dalam langkahnya menuju sebuah tempat. 

Tetesan itu semakin lama semakin banyak. Membahasi jalanan yang berdebu. Menggoyangkan daun-daun dan tanaman jalanan. Benar--- akhirnya hujan turun juga dari tempat teduhannya. Pengendara motor mulai kalang-kabut mencari tempat berteduh di emperan-emperan toko. Sehingga jalanan didominasi oleh pengguna roda empat. Hanya terlihat beberapa pengendara motor saja yang nekat menembus derasnya hujan sore itu. 

Sama halnya dengan pemuda tadi. Dia mempercepat gerak langkahnya dan mulai berlari menuju tempat tujuannya yang memang sudah tidak jauh lagi, terlihat sudah sepandangan mata. Dalam keadaan sedikit basah, akhirnya dia sampai di Vihara ‘Dharma Bhakti’. Ya--- Pemuda 24 tahun yang akrab dipanggil Daniel ini memang seorang KongHuChu keturunan etnis Tionghoa yang tinggal di Banda Aceh. 

Daniel yang sudah tidak punya orang tua lagi pasca musibah besar yang mehantam negeri ini 7 tahun silam—Tsunami, kini tinggal bersama pamannya sekaligus bekerja di toko roti milik pamannya. Daniel adalah tipe pekerja keras. Dia sangat ulet dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Meskipun dia keponakan si pemilik toko, tapi Daniel tidak mau dibedakan dengan pekerja lainnya. Selian itu, Daniel juga sangat taat beribadah. Dia percaya bahwa setiap kehidupan ini punya ‘Pemilik’. Dialah yang disembahnya. Karna itu, bagaimana pun sibuknya dia, Daniel tetap menyempatkan diri untuk sembahyang dan berdoa kepada Tuhan, sebagai wujud syukurnya atau memohon sesuatu yang diinginkannya.

Berada di daratan dengan mayoritas Muslim, memang tidak ada banyak klenteng atau vihara yang berdiri di sini. Vihara terbesar yang bisa dibilang satu-satunya di Banda Aceh ini, yaa tempat yang dikunjungi Daniel sekarang ini. Terletak di bilangan Peunayong. Tempat yang sangat strategis untuk itu.  Daniel biasa datang kesana setiap kamis sore hingga malam jum’at. Berada sebagai minoritas tidak jadi masalah buat Daniel. Karena dia merasa penduduk di sini sangat toleransi terhadap orang asing manapun. Bukankah dalam Islam diajarkan untuk saling menghormati terhadap sesama ummat beragama? Maka tak ada beda dengan etnik Tionghoa di bumi Serammbi Mekkah ini. Mereka yang sudah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sangat bercampur dengan masyarakat dengan rukun.

***

Hujan masih saja enggan bersudahan. Belum ada tanda-tanda langit akan kembali memamerkan pertunjukan formasi bintang nanti malam. Masih gelap. Masih bergemuruh. Hari sore itu seakan sedang sangat berkabung. Meluapkan semua ganjalan  kegelisahannya. Bersedih akan sesuatu.

Sama seperti apa yang sedang terjadi di sebuah rumah mewah di kawasan Keudah, kawasan yang berjiran dengan Peunayong dengan sebuah sungai—‘Krueng Aceh’ yang memisahkan keduanya. Halaman rumah mewah kepunyaan Teuku H. Hasanuddin ini sedang di penuhi dua sedan mewah milik tamu-tamu istimewanya. Hujan deras sore ini  seolah tak jadi penghalang untuk pertemuan dua keluarga terpandang yang mempunyai silsilah garis keturunan bangsawan ini.

Di sebuah ruang tamu yang luas, sofa mewah dan segala perangkat perabotan yang mahal dan indah itu, sedang dipenuhi orang-orang dengan pakaian mewah dan perhiasan mahal yang seolah menunjukkan jelas dari kalangan mana mereka berasal. Mereka sedang terlibat pembicaran yang cukup serius tapi tetap di selimuti dengan suasana hangat dan akrab.

Lihatlah di ujung sofa sana! Disana sedang duduk seorang gadis cantik yang sangat menawan didampingi sang Ibunda tepat di sebelahnya. Wajah putih beningnya semakin terlihat bercahaya dibias cahaya lampu yang memantulkan sinar lewat kristal-kristal indah yang bergantung megah di tengah ruangan itu. Seorang gadis yang berjilbab, cantik, taat agama, sopan, pintar, berasal dari garis turunan bangsawan, dan hidup mapan. S-e-m-p-u-r-n-a--- Benar-benar sosok seorang wanita yang di idam-idamkan lelaki untuk menjadi bidadarinya di surga kelak. Tapi, ada sesuatu dibalik wajah cantiknya yang terus menunduk menjaga pandangannya sejak dari awal tadi. Ya--- gadis 22 tahun anak semata wajang keluarga Hasanuddin ini bernama Cut Meurisa Nuri Ulfa, dan akrab dipanggil Ulfa.

Ulfa belum mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir merah indahnya. Dia seperti membatu ditempatnya. Kedua tangannya saling menggenggam di atas tumpuan pahanya. Mata coklat indahnya pun tampak berkaca-kaca dipenuhi cairan bening yang masih enggan tumpah. Benar--- Ulfa sedang menahan kesedihannya. Bagaimana tidak--? Orang tuanya terus saja mendatangkan lelaki-lelaki dari kalangan sederajat keluarganya untuk dijodohkan dengannya. Ulfa sangat tidak nyaman dengan ini. Dia ingin memilih calon suaminya sendiri yang benar-benar dicintainya. Tidak dengan cara ini. Dan satu hal lagi yang paling menyesak dipikirannya, bahwa orang tuanya tidak akan pernah merestui anaknya diperistri oleh seorang yang bukan berasal dari garis turunan bangsawan. Karena dia adalah seorang wanita, dan akan hilang silsilah darah bangsawannya jika menikah dengan lelaki biasa—begitu kata sang Abi(panggilan Ulfa untuk ayahnya).

Lantas apa yang bisa diperbuat Ulfa. Sebagai seorang anak, dia harus berbakti kepada orang tua. Salah satunya adalah dengan menuruti perintah orang tuanya selama itu tidak bertentangan dengan syari’at. Tapi di sisi lain, Ulfa juga tidak ingin menyiksa batinnya sendiri kalau harus menghabiskan sisa hidup dan ibadahnya dengan seorang suami yang tidak dicintainya. Selama ini yang bisa membuat Ulfa terus nenutupi kesedihan dan bebannya tersebut adalah dengan menolak setiap lamaran atau perjodohan yang dilakukan keluarganya, dengan alasan bahwa Ulfa ingin menyelesaikan kuliahnya dulu di Fakultas Tarbiyah Bahasa Arab, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Ini adalah kali ke-7 nya keluarga Ulfa mengadakan pertemuan keluarga untuk membicarakan perjodohan dengan keluarga besar Teuku H. M. Husein. Lelaki tampan itu bernama Teuku Raffi. Seorang alumni Universitas Gajah Mada fak. Kedokteran Gigi yang sekarang sudah menjadi dokter gigi. Raffi kini tinggal di Medan dan bekerja di salah satu rumah sakit terkemuka di sana. Dia mengatakan bersedia pindah tugas ke Banda Aceh jika Ulfa tidak ingin jauh dari tanah kelahirannya ketika menjadi istrinya nanti.

Kali ini Ulfa benar-benar linglung. Sangat kebingungan. Berbeda seperti  biasanya yang dengan sangat mudah menolak dengan alasan tadi. Pasalnya, Ulfa kini sudah lulus dari kuliahnya. Dan memang sudah lama sekali tidak ada prosesi jodoh-jodohan ini sejak Ulfa meminta ke Abi agar tidak melakukan ini selama dia belum lulus kuliah. Maka sekarang tidak ada alasan lagi untuk Ulfa menolak perjodohan ini. Karna itu Ulfa sangat bingung kali ini. Hujan yang masih deras turun diluar sana seolah menggambarkan kegaduhan hati yang sedang dirasakan Ulfa sekarang.

Keadaan kemudian terasa sangat menegangkan. Ini intinya---. Dengan segala pertimbangan dan sesi tanya-jawab bak acara talk show itu, seketika sang Abi bertanya kepada putri semata wayangnya itu.

“Bagaimana nak,, apa kau menerima nak Raffi untuk menjadi imam mu??”

Mendengar pertanyaan itu, seketika Ulfa tertegun, matanya melebar, tangannya bergetar, sembari ikuti suara petir yang menggelegar dari langit. Seolah dengan tepat menjelaskan perasaan Ulfa saat itu.

Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanya suara desir hujan samar-samar diluar sana. Semua mata di ruangan itu tertuju pada seorang gadis di ujung sofa sana. Mereka sedang menunggu jawaban apa yang akan diberikannya.


Bersambung.....(ke part-2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar