Rabu, 18 Januari 2012

NAGA HITAM (part-3)

Sempurna sudah kegelapan meraja. Kali ini benar-benar redup. Perlahan air langit pun meranjak. Kini sang bayu lah yang menguasai sisa malam yang semakin membeku. Jalanan kota yang biasanya masih padat lalu-lalang kendaraan, kali ini sudah mulai lengah. Mungkin mereka lebih memilih  memondok di surganya. Berkumpul bersama keluarga, bercengkrama, mencari kehangataan kasih orang-orang yang dicintai ditengah dinginnya alam.

Namun hal itu tak berlaku di sini. Di kediaman keluarga Hasan. Suasana kaku masih terasa di sini pasca acara pertemuan keluarga terpandang dari turunan darah bangsawan itu. Pak Hasan sendiri belum mengeluarkan satu patah kata pun kepada Ulfa sejak tadi. Bukan marah. Bukan kesal. Bukan sedih. Beliau hanya penasaran. Siapa sebenarnya sosok lelaki yang dicintai putrinya itu. Mengapa dia tidak pernah bercerita apapun selama ini. Bagaimana dia bisa kenal dengannya. Dimana. Kapan. Atau mungkin, ini hanya ALASAN semata. Begitulah--- beribu pertanyaan muncul bertubi di benak sang Abi yang dikenal sangat menjaga wibawanya ini. Pak Hasan hanya tidak ingin menambah suasana semakin tak nyaman saat ini. Beliau sangat mencintai putri semata wayangnya itu. Maka beliau memilih untuk tidak menjawab rasa penasarannya itu di saat sekarang ini. Biarlah Ulfa menenangkan diri dulu, pikirnya. Sama halnya dengan sang Ummi, yang juga memilih diam untuk saat ini.

Ulfa lantas hanya berdiam di kamarnya setelah itu. Dia tau apa yang telah dikatakannya. Dia juga tau apa yang sedang dipikirkan Abi dan Ummi nya saat ini. Namun apa yang bisa dijelaskan sekarang. Semua masih terurai tak beraturan. Tiba mendadak diwaktu yang mendesak. Bahkan tak tau harus mencari titik awal dari mana untuk menerangkan. Mhhuuufft--- menghela nafas panjang. Saat ini Ulfa hanya bisa berdoa semoga semua dalam kendalinya. Biarlah waktu yang menemukan kebenaran itu. Atau mungkin tak akan pernah terungkap sama sekali.

***

Di sudut gerbang itu, seorang pemuda masih kokoh pada pijakannya. Ya--- Daniel belum beranjak juga dari sana. Meskipun dia berpikir penantiannya akan sia-sia kali ini, tapi biarlah. Aku tunggu sebentar lagi, begitu kata hatinya yang terus berkala terulang dari awal tadi. Tapi belum muncul seberkas bayangan pun dari orang yang ditunggunya. Namun dalam tegaknya, tiba-tiba handphone disakunya berdering.

“ Ya om—“, jawab Daniel.

“Dimana kamu sekarang?”, tanya si Paman.

“Aku masih di Vihara om, kenapa?”

“Nngg--- kamu bisa pulang sekarang nggak, kepala om rasanya berat sekali, pening sejak tadi sore keujanan pas ngantar pesanan, sekalian nitip obat sakit kepala ya—“

“oohh,, iya om, aku pulang sekarang..”.

Tepat setelah Daniel menutup pembicaraan itu, langkahnya lantas beranjak menuju apotek terdekat yang buka kemudian bergegas pulang. Ternyata deringan telpon itulah yang merayu Daniel untuk menyudahi penantiannya. Biarlah kali ini. Mungkin memang tak diizinkan keadaan untuk menatapnya saat ini. Sekarang yang ada dipikiran Daniel adalah segera pulang dan membawa obat untuk mengobati sakit kepala pamannya itu. Daniel memang sangat sayang dan perhatian terhadap pamannya. Bagaimana tidak--- Sejak Daniel sebatang kara tanpa orangtua, pamannya lah yang menggantikan posisi itu untuknya. Pamannya nya pun demikian halnya. Sejak awal pernikahan, si Paman tidak dikaruniani seorang buah hati pun. Karena itu Beliau menyangi Daniel seperti anaknya sendiri.

Malam ini pun berlalu. Tenggelam dalam dermaga hening yang sepi. Diiringi sautan katak yang mulai terdengar di atas daratan yang basah ini. Bercak-bercak tinta berkilau pun mulai bermunculan. Memercik tak beraturan di atas kanvas hitam yang sangat lebar. Semakin banyak. Semakin gemilang. Berkedip manja dalam beragam formasi yang sangat indah. Menyebar seantero jagad bak pentas opera alam yang gemerlap. Maha Suci Sang Pencipta.

***

Mentari kembali meyambut persinggahan ini. Meski belum sempurna mengepak sayapnya, namun bentangan sinarnya sudah teraba oleh cakrawala. Kicauan burung terdengar merdu sembari melayang beraturan dalam kelompoknya, diiringi sautan ayam yang masih berkokok sesekali. Entah dari mana datangnya suara-suara itu. Tapi yang jelas sangat berpadu indah membentuk harmoni alam yang begitu syahdu. Ini dia. Waktu memulai beragam agenda. Pagi yang begitu hangat.

Ini adalah hari yang sama tepat seminggu lalu pasca perjodohan Ulfa dengan Raffi. Kini situasi mulai hangat kembali sehangat udara pagi ini. Seperti biasa, Daniel sudah siap dengan motor dan keranjang dibelakangnya yang berisi penuh roti-roti dari toko pamannya. Ini adalah agenda wajib Daniel di pagi hari. Dia harus berkeliling ke beberapa tempat untuk mengantar roti-roti yang di pesan-antar oleh pelanggan langganan toko pamannya.

Menelusuri likuan jalan, kini Daniel sampai ke sebuah rumah. Ini adalah salahsatu langgangan setia toko roti pamannya. Penghuni rumah ini sudah menjadi langganan roti sejak hampir 2 tahun lalu. Biasa roti diantar ke sini per 2 hari sekali. Dan ini adalah waktunya. Sampai di depan gerbang pagar yang berukir ‘pinto aceh’ itu, Daniel berhenti. Turun dari motornya lalu  menyapa si penghuni rumah. Dan seperti biasa, seorang gadis cantik berkerudung memenuhi panggilannya untuk mengambil roti pesanan itu. Benar--- Gadis itu adalah Ulfa. Keluarga merekalah si langganan setia itu. 

Seperti biasa, setelah menerima roti, Ulfa pun bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Dan Daniel pun bergegas kembali mengantar sisa pesanan rotinya. Tanpa basa basi, tanpa percakapan panjang, bahkan bertatapan pas pun jarang. Yaa, memang begitu. Toh, hubungan mereka selama ini memang sebatas seperti antara penjual dan konsumen saja. Tak lebih.

Waktu pun berlalu capet. Matahari sudah melebihkan bayangan dari wujud nyatanya. Terlihat para jama’ah shalat Ashar baru saja berbondong-bondong keluar dari Mesjid. Sementara itu, Daniel masih saja sibuk di toko roti. Sore ini nampaknya toko roti sedang dipenuhi pelanggan.  Meskipun lelah, Daniel tetap menunjukkan senyum ramahnya ke setiap pelanggan yang datang. Dia harus menyesaikan tugasnya dengan cakap. Sebab seperti biasa, sore hari ini dia akan berkunjung ke Vihara untuk berdoa. Dan kali ini dia berharap dapat menjumpai wanita yang ditunggunya. Semoga---

Di sisi lain, Ulfa sudah bersiap untuk berangkat ke TPQ (Tempat Pendidikan Qur’an) Al-Aziziyah untuk mengajar. Ulfa memang sudah mulai mengajar Lughatul ‘Arabiyah (bahasa Arab) di TPQ itu sejak menginjak semester 5 kuliahnya. Ya—hitung-hitung memberkahi ilmu sekalian praktik. Setelah menunaikan shalat Ashar nya di rumah, Ulfa lantas bergegas ke sana. Dia harus bergerak lebih awal, sebab Ulfa berjalan kaki ke sana. Bukan karena dia tak punya kendaraan. Pasalnya, Ulfa memang senang berjalan kaki, karena dia senang menikmati langsung suasana diluar dengan bebas. Lagipula tempatnya tidak terlalu jauh. Kurang lebih 20 sampai 30 menit berjalan kaki. Kecuali jika mendesak atau melakukan perjalanan yang agak jauh, barulah Ulfa menyetir Honda City miliknya.

Sebenarnya—ada alasan lain yang lebih merayu Ulfa untuk berjalan kaki ke sana. Ada sesuatu yang ingin ditemui Ulfa dengan itu. Sesuatu yang ingin dilihatnya. Mmhh,Tidak---lebih tepatnya, seseorang. Yaa—seseorang yang diharap dapat dijumpainya lagi ditempat yang sama saat pertama kali dia melihatnya. Seseorang yang sangat ramah, peduli sesama, perhatian, rendah hati dan suka menolong. Meskipun Ulfa belum pernah melihatnya sebelumnya, tapi hatinya sangat  tersentuh dengan sikapnya sejak perhatian pertamanya.

Begini--- pernah suatu kesempatan saat Ulfa masih di awal mula mengajar di TPQ Al-Aziziyah, mobilnya sedang di service di bengkel. Ya, sebenarnya Ulfa biasa menggunakan mobilnya ke sana. Tapi karena saat itu tidak memungkinkan, maka Ulfa memutuskan untuk jalan kaki. Di tengah perjalanannya, di kejauhan Ulfa melihat seorang kakek tua pengemis sedang berjalan lemah dengan tongkatnya yang juga terlihat rapuh. Ulfa memang sangat tidak tega melihat pemandangan seperti ini. Maka dia percepat langkahnya menuju si pengemis itu untuk memberikan belas kasihan padanya. Tapi tiba-tiba langkahnya tertahan. Niatnya didahului seorang pemuda dengan penampilan sederhananya. Namun ternyata hati pemuda itu tak sesederhana penampilan luarnya. Tersimpan sesuatu yang luar biasa di dalamnya. Pemuda itu membawa sekarung beras di boncengan motornya. Dia turun. Lalu membuka jahitan karung beras itu dan meminta si pengemis membuka karung miliknya. Tanpa ragu, pemuda itu membagi setengah isi karung itu dengan si pengemis. Kemudian dia langsung masuk ke tempatnya, yang ternyata si pengemis tadi sedang berjalan tepat sempurna di depan tempat tujuan si pemuda itu.

Tanpa disadari pemuda itu, Ulfa memperhatikan pemandangan menakjubkan itu dengan terkagum bisu. Ini pertama kalinya Ulfa melihat hal seperti ini di era modern ini. Era dimana sebagian besar orang berdiri sendiri, sulit perduli terhadap sesama, bersikap bodo amat terhadap lingkungan. Tapi Ulfa melihat sendiri hari ini, ternyata sebagian kecil pengecualian itu ada di pandangannya sekarang. Ya--- sejak saat itulah Ulfa kagum pada sosok si pemuda itu. Entah apa namanya, entah apa rasanya, entah dari mana datangnya, Ulfa yang tidak pernah seperti ini sebelumnya, ternyata dia telah jatuh CINTA pada pemuda itu sejak pandangan pertamanya. Mulai hari itulah Ulfa jarang sekali mengendarai mobilnya ke TPQ. Ulfa lebih memilih jalan kaki, karena dengan begitu dia bisa melihat si pemuda itu ditempat yang sama setiap kali dia berjalan menuju TPQ. Meski tanpa disadari pemuda itu. Benar—pemuda itulah yang dimaksud dalam jawaban panjang pertanyaan Abinya saat acara perjodohan itu.

Lantas mengapa Ulfa memilih memendam rasa itu--? Siapa sebenarnya sosok pemuda yang dicintainya itu--???


Bersambung.....(ke part-4) 

2 komentar:

  1. knp judulnya naga hitam??
    apakah erat hbgnnya dgn daniel??

    BalasHapus
  2. mmhh,,,
    tunggu saja sampai seri nya tamat,,
    mungkin akan terjawab nanti...
    hehehe

    BalasHapus