Selasa, 17 Januari 2012

NAGA HITAM (part-2)

Daniel masih saja betah di Vihara. Tapi sekarang dia sedang tidak berada di dalam. Daniel sedang duduk di tepian tangga gerbang masuk Vihara. Entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. Dia hanya duduk diam memandangi langit sore yang masih saja kelam. Ini sudah hampir waktu maghrib, dan hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi. Jalanan di seputaran kota pun sudah mulai agak lengah. Sebagian toko malah sudah ada yang mulai tutup sementara hingga waktu maghrib selesai. Lampu-lampu jalanan sudah mulai menyala. Membiaskan cahaya kekuningan ke rintikan air hujan yang turun, bak tetesan air emas yang sedang tumpah dari angkasa.

Sementara itu, di rumah keluarga Hasan masih saja diselimuti suasana sakral. Prosesi perjodohan yang sedang berlangsung masih menuai kegundahan besar di hati Ulfa. Setelah sang Abi menodongnya dengan pertanyaan yang cukup membuatnya seolah sedang duduk di meja hijau sebagai tersangka yang sedang diintrogasi, Ulfa mulai berfikir. Tangannya semakin menggenggam erat. Hatinya tak henti memohon petunjuk kepada Sang Pemilik hati.

“Kali ini alasan apalagi yang harus aku berikan. Ya Allah,, hamba mohon petunjuk-Mu...”, guman Ulfa dalam hati.

Setelah mengucap basmalah, lantas penantian seluruh orang diruangan itu tersampaikan. Ulfa akhirnya angkat bicara. Menjawab pertanyaan Abi nya.

“Saya berterima kasih banyak kepada keluarga bapak Husein yang sudah berkenan memenuhi pertemuan keluarga ini. Terima kasih juga karna sudah  berkenan memilih saya untuk diperkenalkan dengan putra Bapak dan Ibu”

Ulfa lalu memalingkan pandangannya kepada Raffi.

“Cutbang Raffi---, sapa Ulfa
(Cutbang adalah panggilan halus dari Aceh yang ditujukan kepada seorang pria yang lebih tua atau yang dihormati)

"Cutbang adalah lelaki yang baik dan sopan. Saya bisa rasakan itu dari cara cutbang berbicara dan bersikap. Cutbang juga lelaki yang pintar dan tampan. Berasal dari keluarga terhomat dan hidup mapan. Saya rasa tidak ada wanita manapun yang akan menolak memilih cutbang untuk menjadi imamnya. Dan sekali lagi, saya merasa sangat istimewa menjadi wanita yang bersedia cutbang pilih. Seandainya kita memang dijodohkan oleh Allah dari pertemuan yang mulia ini, maka saya akan berusaha taat pada cutbang, agar bisa menjadi bidadari yang kelak bisa menemani cutbang di akhirat....”

Perkataan Ulfa terputus. Suasana masih hening. Semua mata masih tertuju pada Ulfa untuk menunggu jawaban inti yang akan dikatakannya. Ulfa kembali menunduk sejenak lalu menghela nafas. Kemudian  Ulfa mengangkat kepalanya dan memandangi bergantian orang-orang diruangan itu sembari berkata,

“Abi, Ummi, Pak Husein, Bu Husein, Cutbang Raffi, dan semua yang hadir di sini.... Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya tidak bisa menerima cutbang Raffi menjadi imam saya. Karena saya sudah MENCINTAI seseorang...!”, saut Ulfa dengan tatapan pasti dan suara yang meyakinkan.

Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Ulfa, sentak seluruh ruangan menjadi semakin tegang. Semua mata jadi saling memandang penuh tanda tanya. Namun suasana di ruang itu masih saja hening. Belum ada satu suara pun yang terlontar dari mulut siapa pun. Abi dan Ummi Ulfa sendiri masih diam dan tak menyangka dengan apa yang baru saja dikatakan oleh putri semata wajangnya itu. Mereka masih tak habis pikir dengan alasan dan pernyataan yang dibuat Ulfa. Siapa yang dicintainya itu--?? Hingga mampu dengan gampang menolak seorang lelaki yang nyaris benar-benar sempurna untuk dijadikan suami seperti Raffi--?

Masih tak ada suara diruangan itu. Yang terdengar hanya sayup-sayup detik air di luar sana. Sepi---, sunyi---. Seakaan semua mulut terkunci saat itu, ada ada kata yang bisa dikeluarkan. H-e-n-i-n-g---. Suara azan maghrib lah yang kemudian memecah seheningan itu. Menggema di seluruh penjuru daratan yang basah ini. Dentingan air hujan pun terdengar bak pengiring yang membuat alunan sautan itu semakin megah. Tanda panggilan munuju Sang Pemilik Semesta.

***

Sang malam pun akhirnya menjemput surya kembali ke peraduannya. Sirna sudah. Langit dibungkus kegelapan. Sejauh mata memandang tak ditemukan setitik cahaya pun. Yang ada hanya cahaya menyambar dari balik kabut pekat yang muncul sesekali diiringi sautan gemuruh yang memecah malam. Hujan memang sudah tak sederas tadi sore. Hanya tinggal rintik-rintik saja. Tapi cukup membuat suasana malam jum’at ini terasa begitu dingin. Ditambah dengan desis angin yang berhembus, membuat malam benar-benar menjadi semakin beku.

Dingin dan bekunya malam ini sama seperti hati dan pikiran Daniel saat ini. Dia sedang berdiri tepat di ujung tembok gerbang masuk utama Vihara. Tak beranjak di tengah rintik hujan. Hanya berlindungkan jaket ditubuhnya yang sudah mulai lembam. Cahaya lampu jalanan dan kendaraan yang melintas membiaskan pantulan ke wajah putihnya yang tampak semakin pucat bak mayat.

Daniel sudah hampir sejam berdiri disini. Ya--- karena ini adalah malam jum’at. Memang ada apa di malam ini? Bukan tanpa alasan dia mau tertahan ditengah dingin malam dan rintik hujan seperti ini. Tubuhnya semakin menggigil. Tapi tetap saja Daniel tidak bergeser semeter pun dari pijakannya. Bersiteguh  dengan keinginannya. Sesekali dia lirik jam tangannya. Pandangannya tampak tak beraturan ke segala penjuru. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya dia berdiri di sini. Daniel melakukan ini setiap kali dia pulang dari Vihara di Kamis malam.

Tepat--- Yang dilakukan Daniel adalah menunggu. Dia sedang menunggu seseorang. Seseorang yang telah membuatnya terus memuja Sang Pencipta. Seseorang membuatnya tetap ingin bernafas sampai saat ini. Seseorang yang membuatnya bahagia saat bisa melihatnya. Seseorang yang membuatnya rindu saat tak bisa ditemuinya. Seseorang yang membuatnya khawatir saat tak terdengar kabarnya. Benar--- Dia adalah wanita yang telah membuat Daniel merasakan CINTA. Lantas siapa sebenarnya wanita yang sedang dinantinya itu--?


Bersambung.....(ke part-3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar