Kamis, 19 Januari 2012

NAGA HITAM (part-4)

Gelap ini kembali singgah. Seakan tak ada beda dari sebelumnya. Masih dingin, sepi, hening. Begitulah yang dirasa oleh hati yang terbelenggu, sesak dengan rasa cinta yang tak terungkap. Masih begitu. Tapi setidaknya masih ada harapan. Hanya saja terkadang kesempatan yang tak tergenggam. Ya--- apapun itu, waktulah yang akan memperlihatkan. Kita hanya menunggu hingga pagelaran pentas drama hidup itu ditayangkan dalam gendre nya masing-masing. Di atas hamparan layar hitam sana, terlihat lentera yang menerangi, memercik berkas sinarnya ke penjuru alam. Semakin indah dengan taburan titik-titik cahaya yang tanpa malu berkedip genit pada siapa yang menatapnya.

Seperti biasa, malam ini pun setelah selesai berdoa di Vihara, Daniel kembali berada di pijakan lamanya. Tegak dalam penantian. Menunggu seseorang yang membuatnya selama ini tetap teguh perasaanya. Kali ini Daniel berharap penantiannya terbalas. Semoga saja seseorang yang ditunggunya itu benar-benar hadir nyata di hadapannya kali ini. Menghapus guratan rindu yang selama ini tersesak jauh dalam tahanan belenggu hati.

Dari kejauhan,terlihat seorang wanita berjalan di pinggiran trotoar jalan. Dibias gemerlap cahaya lampu-lampu terang dari dalam pertokoan. Cahaya dari beberapa kendaraan yang berlalu-lalang memancul ke wajahnya yang putih bersih. Terlihat benar-benar seperti bidadari yang sedang turun dari langit untuk menemui cintanya. Begitulah yang terlihat di pandangan Daniel saat melihatnya. Semerbak kelopak bunga serasa bertaburan di hati Daniel. Bagaimana tidak--- kali ini dia menemui penantiannya.

Dari kejauhan Daniel mengikutinya. Ternyata selama ini Daniel tidak menatapnya langsung. Dia hanya bisa memandangi wanita itu dari kejauhan tanpa diketahui si wanita yang dicintainya tersebut. Dengan begitu saja rindunya terbalaskan. Bak malam yang rindu bulan, bak mendung yang merindu hujan. Kali ini benar-benar terjawab. Lantas mengapa Daniel lebih memilih diam—menyimpan rasa yang hanya akan menyesakkan perasaannya. Dia punya cukup alasan untuk melakukan itu. Alasan yang selama ini menjadi tembok penghalang besar untuk Daniel mengakui perasaannya itu kepada seorang wanita cantik berjilbab yang dicintai terebut.

Benar--- Wanita itu adalah Ulfa. Wanita yang selama ini dicintai Daniel diam-diam adalah putri semata wayang keluarga Hasan, Ulfa. Jelas hijab lebar terbentang luas di hadapan Daniel saat perasaannya tertuju pada Ulfa. Bak mengihidupkan api unggun di dasar samudra. Mustahil-- Begitulah gejolak rasa yang ada di hati dan pikiran Daniel. Dia tau persis bagaimana keluarga Ulfa. Anak siapa, berasal dari keluarga yang bagaimana. Dia mengerti. Lantas bagaimana dia akan menjawab perasaannya itu. Dan satu hal yang benar-benar menjadi pembatas kokoh adalah--- Iman. Iman mereka yang beda. Itu lebih menyambuknya. Lagipula Ulfa selama ini tidak pernah sedikit pun menunjukkan tanda bahwa dia juga punya perasaan sama terhadap Daniel. “Aah, selama ini yang dia pikirkan adalah sebatas hubungan antara langgangan dan penjual, tidak lebih”, begitu pikirnya. Dia mengira untuk seorang wanita seperti Ulfa pasti akan memilih pendamping yang jelas tidak sepertinya. Karena itu lah selama ini Daniel hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Menunggu Ulfa setiap kali pulang mengajar dari TPQ kamis malam. Memandang dari balik gerbang Vihara. Memendam rasa cintanya kepada Ulfa. Rasa cinta yang semakin menyesak sanubarinya. Rasa cinta yang tetap akan dipendamnya hingga entah sampai kapan.

***

Hari-hari berlalu. Semua berjalan seperti biasanya. Setiap orang melakukan aktifitasnya yang nyaris seperti biasa. Demikian dengan Daniel. Pagi ini seperti biasa dia mengantar roti-roti pesanan kepada pelanggan, termasuk ke rumah Ulfa. Dan seperti biasanya juga, mereka tidak banyak bicara, tidak banyak saling menatap. Hanya memberikan, menerima, dan selesai.  Lantas kembali disibukkan oleh aktifitasnya masing-masing. Meskipun hati Daniel sangat sesak ingin melampiaskan belenggu perasaannya, tapi dia tetap menahannya. Dia tidak ingin hubungan yang selama ini sudah terjalin menjadi kacau. Setidaknya dengan begini, Daniel masih bisa terus bertemu dengan Ulfa. Begitu saja sudah cukup baginya.

Ulfa masuk ke dalam rumah dengan membawa roti itu sekalian ke ruang makan untuk dinikmati. Mereka memang punya kebiasaan sarapan bersama di rumah sebelum melanjutkan aktifitas masing-masing. Namun ditengah menyantap hidangan sarapan yang tersaji mewah di atas meja besar yang terbuat dari ukiran jati itu, tiba-tiba saja sang Abi menyatakan sesuatu.

“Nak, kau sekarang sudah tumbuh dewasa. Umurmu sudah menginjak lebih kepala dua. Tidak baik bagi wanita menunda terlalu lama nikahnya. Kau sudah waktunya melengkapi setengah ibadahmu. Kami tau, kau ingin melanjutkan dulu karirmu. Tapi kau juga harus memikirkan kami nak. Hidup kami mungkin sudah tidak lama lagi. Kami sudah ingin menggendong cucu dari anak sematawayang kami satu-satunya. Dan Abi rasa kau juga sudah cukup paham bagaimana silsilah keluarga kita ini. Kita berada dalam pandangan terhormat, dari garis turunan bangsawan. Sejak dulu kita sudah menjaga hubungan darah ini. Begitu juga denganmu. Abi rasa kau mengerti apa yang Abi maksud. Karena itu--- Abi dan Ummi sudah membuat keputusan. Dan keputusan ini harus kau turuti sebagai pengabdianmu menjadi anak terhadap orangtuanya. Kami sudah memutuskan—bahwa kau harus menikah dengan Raffi. Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya. Keluarga Raffi akan datang untuk melamarmu minggu depan, tepat di hari ulang tahunmu.”

Mendengar apa yang keluar dari mulut Abi, Ulfa tercengang, bak mendengar petir di siang bolong. Membatu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar darinya. Tanpa disadarinya pun, mata indahnya sudah dipenuhi cairan bening yang terus menumpuk, kemudian tumpah membetuk aliran dipipinya sebelum metetes jatuh ke bumi. Ulfa benar-benar tidak bisa berkata apa lagi. Dia berpikir untuk pasrah kali ini. Benar—ini adalah bentuk pengabdiannya sebagai anak. Dia tidak ingin menjadi anak durhaka karena menentang kehendak orangtuanya. Tapi di sisi lain, bagaimana dengan hatinya. Bagaimana dengan seseorang yang selama ini sudah dicintainya. Dan menunggu untuk tibanya waktu penyatuan hati itu yang entah kapan akan datangnya.

***

Ini hari ketiga setelah percakapkan Ulfa, Abi dan Ummi nya. Artinya, hari lamaran itu tinggal tiga hari lagi. Ulfa masih membisu. Langkahnya kosong, pandangannya hampa. Entah apa yang dipikirnya. Semua mengacak, kacau-balau didalam pikirannya. Semua sudah sangat matang. Segala persiapan untuk hari itu sudah hampir sempurna. Ulfa kembali menghela nafas panjang. Dia rasa dia sudah ikhlas. Tapi tetap saja masih berat diterimanya. Lantas bagaimana lagi. Mungkin ini lah takdirnya. Dalam kesibukan persiapan itu, Ulfa pun harus ikut disibukkan. Hari ini dia diminta Abi ke toko roti untuk memesan roti dalam porsi banyak untuk dijadikan hidangan di acara pertunangannya nanti, sekaligus sebuah kue tar untuk simbol perayaan ulang tahun yang tepat di hari itu juga. Ulfa lantas pergi dengan menyetir Honda City nya sendirian ke toko roti langganannya, toko roti tempat Daniel bekerja. Ulfa bergegas kesana dalam pikiran kacaunya.

Disisi lain, daniel sedang sibuk menghias bagian depan toko roti dengan pernak pernik imlek. Hari tahun baru Cina itu akan dirayakan tiga hari lagi. Ya—hari Imlek kali ini memang kebetulan tepat jatuh bersamaan dengan hari ulang tahun Ulfa. Segalanya sudah apik. Lampion, ornamen dan pernak pernik yang didominasi warna emas dan merah sangat menonjol di sana. Sembari Daniel sedang asik menggantung hiasan-hiasan di depan tokonya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berhenti di depan tokonya. Daniel berhenti dari kesibukannya, lalu memperhatikan mobil itu. Tak lama, keluar seorang wanita dari dalamnya. Benar--- dia adalah Ulfa. Daniel kaget bukan kepalang. Bak mendapat hujan ditengah gurun gersang. Betapa tidak—seseorang yang dia cintai selama ini tiba-tiba hadir di hadapannya pada waktu yang tidak diduga-duganya. Tapi lagi-lagi, Daniel harus menutupi itu semua.

Dengan ekspresi yang biasa, Daniel menyambutnya layak seperti pelanggan biasa yang datang ke tokonya. Meskipun Daniel terus berbisik dalam hatinya,”seandainya dia tau...”. Begitu juga dengan Ulfa, dia terlihat biasa-biasa saja. Dia tidak ingin kekacauan hatinya terlihat oleh orang lain. Apalagi terhadap orang yang masih asing untuknya. Meskipun selama itu Ulfa juga terus bergejolak dalam kekacauan hatinya, memikirkan sosok lelaki yang sedang dicintainya sekarang.

Mereka pun bersikap seperti biasa. Daniel yang belum tau apa yang telah terjadi, lantas bertanya maksud kedatangan Ulfa di sini.

“Silahkan,, ada yang bisa saya bantu..?”, sapa Daniel.

“Oohh, iya.., begini bang, saya mau mesan roti sebanyak 100 porsi dan kue tar untuk diantar 
tanggal 23 besok.,”, jawab Ulfa.

“Waah,, tanggal 23 ya..?? sebenarnya kami tidak buka toko hari itu, karena kami akan sedang ngerayain imlek hari itu.”, jawab Daniel dengan ekspresi sedikit menyesal.

“Hah,, jadi gimana bang? Ga bisa ya..??”,tanya Ulfa dengan nada kecewa.

“Mmhh.. tapi karena keluarga kamu udah jadi langganan kami.., ya udah deh, akan kami usahakan semampu kami.”, tambah Daniel mengiyakan.

“Waaah,, terimakasih ya bang.. kalo gitu,, saya kasih panjarnya dulu 50%.”

Dengan senyuman, lantas Daniel menambahkan,

“Hehehe,, kalau masalah itu gampang.. mmhh, kalo boleh tau.. memang ada acara apa yaa.. kok tumben tumbenan mesan porsi besar gitu..?”

Lantas Ulfa menjelaskan,

“Begini bang,, tanggal 23 itu hati ulang tahunku. Jadi ada semacam acara perkumpulan keluarga gitu di rumah,, sekaligus akan diadain acara lamaran aku.”

Mendengar itu, Daniel bak disengat aliran listrik. Hatinya bergetar mendengar itu. Kali ini Daniel yang mulai diselubungi rasa tak beraturan, kacau-balau, campur aduk dalam pikirannya. Detik seakaan berhenti saat itu. Membatu. Mulutnya langsung membisu tak dapat berkata apapun. Apa yang harus kulakukan. Apa aku katakan saja kalau selama ini aku sangat mencintainya. Tapi apa itu akan menyelesaikan masalah. Dia juga belum tentu mencintaiku. Kalaupun iya, dia juga tidak akan bisa bersamaku. Tapi apa itu mungkin. Bagaimana pun juga, dia tidak akan bisa bersamaku. Apa aku biarkan saja. Tapi bagaimana kalau itu benar-benar terjadi. Lantas bagaimana dengan hatiku. Apa aku harus berharap itu tidak terjadi. Tapi aku sangat egois jika melakukan itu. Jadi aku harus bagaimana. Apa yang harus kukatakan. Apa yang harus kulakukan----?

Perkataan-perkataan itu terus saja berbisik, menyatu kusut dalam pikiran dan hati Daniel. Entah apa yang akan terjadi di hari itu.


Bersambung.....(ke part-5)

2 komentar: